Wednesday, April 7, 2010

TRAGEDI BERDARAH KARBALA

Karbala, tanah terasing yang menjadi saksi pemergian Imam Hussein bin Ali bin Abi Talib cucu kesayangan Rasulullah ke Rahmatullah dengan penuh tragis. Dalam kehausan tidak jauh dari sungai Furat, antara rengek anak-anak dan wanita Ahlul Bait, diratah senjata dan dipenggal kepalanya yang dulu pernah dikucup Rasulullah S.A.W. Peristiwa Karbala adalah peristiwa penting yang harus diingat dan diketahui oleh setiap umat islam.


Pertempuran di Karbala atau sekarang digelar sebagai Iraq, berlaku pada 10 Muharram selepas hijrah di padang pasir Karbala yang terletak bersebelahan dengan sungai Euphrates. Pertempuran itu berlaku di antara para sahabat dan keluarga Nabi S.A.W dan pihak musyrikin yang diketuai oleh Yazid bin Muawiyah. Turut terkorban adalah dua orang anak Imam Hussein, Ali Akbar dan Ali Asghar. Ramai lagi antara 72 orang ahli rombongan atau menurut sesetengah riwayat, kurang daripada 100 orang para sahabat, turut mempertahankan kesucian islam dan melindungi orang-orang yang dikasihi Rasulullah S.A.W dan berakhir dengan kepala masing-masing dijulang di hujung senjata oleh kumpulan askar Yazid bin Muawiyah 


PARA KESATRIA KARBALA


HURR BIN YAZID AL-RIYAHI


Hurr bin Yazid Al-Riyahi, komander pasukan Ubaidillah bin Ziyad seramai 1000 orang Hurr mendapat perintah untuk menghadang pergerakan Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan mengiring mereka menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat situasi Imam Husein dan keluarganya terjepit sehingga mereka telah kehabisan air minum.
Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sedar bahawa dia berada di tengah pasukan yang berniat untk membunuh Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap bersama pasukan ini bererti dia akan mencatatkan namanya dalam senarai orang-orang yang dilaknat Allah. Hurr melihat dirinya berada di persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati dicincing dengan imbalan syurga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan azab neraka. Hurr akhirnya memilih syurga meski harus menempuh pasukan ibnu ziyad yang tiada belas kasihan. Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komander yang berani itu akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan Hurr bersimpuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dengan gagah berani dan mengibas-ngibas pedangnya kearah barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan, “Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.”


MUSLIM BIN AUSAJAH


Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di medan perang dipuji ramai orang. Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga Kufah. Di padang Karbala, usianya sama sekali tidak menghalangi kelincahan geraknya.sesiapa sahaja didepannya akan tumbang terkena pedangnya. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum menghembuskan nafas, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam Husein.


HABIB BIN MADHAHIR


Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam sepuluh Muharram, wajah Habib kelihatan berseri-seri.Sering melemparkan senyuman kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang bertanyakan mengapa beliau tersenyum di malam yang mencengkam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa dengan Tuhan.”
Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan senjata dan tentera yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putera Madhahir dan membuatnya tersemam ke tanah. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melemparkan senyuman ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai syurga. Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.


NAFI’ BIN HILAL


Nafi’ bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat rapat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ditunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.


BURAIR BIN KUDHAIR


Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menggelarnya sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura. Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu bergurau senda dengan Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Abdurrahman berkata kepadanya, “Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.” Burair menjawab, “Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bergurau. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan syurga hanya beberapa saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke syurga.” Burair gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.


ALI AKBAR BIN HUSAIN A.S


Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat mereka akan barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang pohon kurma di tengah sahara. Menyedari bahawa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membunuh Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?” Imam menjawab, “ya.” Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak ada alasan bagi kita untuk berasa ragu dan gentar.”
Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.”
Ali Akbar maju dan dengan tangkas dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabitan pedang putra Al-Husein. Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah telah memberiku air. Baginda menunggu kedatanganmu.” Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.


QASIM BIN HASAN A.S


Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan. Anak buah Imam Husein yang saat itu masih terlalu muda, dan baru berusia kurang dari lima belas tahun,. Di hari Asyura, saat pertempuran di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan perang. Imam Husein mendatanginya dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?” Qasim menjawab, “Kematian bagiku lebih manis dari madu.” Ya, remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju ke medan tempur dan gugur sebagai syahid


JAUN BIN MALIK


Jaun bin Abi Malik, adalah bekas hamba abdi Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mahu tinggal diam. Dia bangkit dan meminta izin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan sakiti dirimu. Engkau telah kumerdekakan.”
Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.” Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi. Setelah mendapat izin, bekas hamba abdi Abu Dzar itu maju ke medan tempur dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul. Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga Muhammad.”


WAHB BIN ABDULLAH


Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komander pasukan Ibnu Ziyad.
Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.” Tak cukup dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.


Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala. Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban solat. Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putera Fatimah itu dari terjahan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.
Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada baginda bahawa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.” Mata sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putera Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?” Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke syurga.”


ABIS BIN ABU SYUAIB AL-SYAKIRI


Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur. Selain dikenali sebagai seorang yang berani dan berdisiplin dalam bertarung di medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan solat tahajjud. Di malam Asyura, Abis mendatangi khemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putera Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.” Abis gugur syahid setelah pasukan musuh menghujaninya dengan batu-batuan.


Khamis 9 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain dikepung pasukan angkara murka Yazid bin Muawiah yang zalim. Pasukan dikerahkan dari Kufah ketika beliau dalam perjalanan selama berhari-hari dari Mekkah di Hijaz menuju Kufah di Iraq. Beliau ke Kufah demi memenuhi undangan dan janji penduduk kota itu untuk berperang melawan Yazid. Namun, saat beliau menjalani misi itu, penduduk Kufah ternyata ingkar janji akibat tekanan pihak musuh yang berada di Kufah di bawah pimpinan Ubaidillah bin Ziyad, gabernor pemerintahan Yazid yang berpusat di Damaskus, Suriah yang saat itu bernama Syam.
Pasukan musuh Imam Husain as pimpinan Umar bin Sa’ad bergerak ke arah lokasi perkemahan Imam Husain as di padang Karbala. Saat itu Imam Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra a.s yang panik mendengar suara ribut ringkik dan derap kaki kuda.
“Kakanda, tidakkah engkau mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju kita?!” seru Zainab as.
Beliau berkata kepada adik lelakinya, Abbas: “Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk apa mereka kemari?”
Abbas pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak maka kami akan berperang dengan kalian.”
Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa jawaban musuh. Imam berkata lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar. Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai solat, membaca ALQuran, berdoa, dan beristighfar.”
Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya dan akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi permintaan itu. Dia mengirim utusan kepada Imam Husain as. Sesampainya di perkemahan Imam Husain as, utusan Umar berteriak lantang: “Kami beri waktu hingga esok. Jika kamu menyerah, kami akan membawa kamu semua ke hadapan Sang Amir. Jika tidak maka kami tidak akan melepaskan kamu.”


PERUNDINGAN PERTENGAHAN MALAM ASYURA


Pertengahan malam Asyura para pemuda Bani Hasyim berkumpul di dalam khemah Abu Fadhl Abbas, adik setia Imam Husain as. Abu Fadhl berkata kepada mereka:
“Saudara-saudaraku sekalian, jika esok perang bermula, orang-orang yang pertama bergegas ke medan pertempuran adalah kamu sendiri agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain tetapi mereka ternyata lebih mementingkan kehidupan diri sendiri daripada orang-orang lain….”
Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: “Kami taat kepada perintahmu.”
Di tempat lain, dalam khemah Habib bin Madhahir, terjadi perundingan beberapa orang yang bukan dari Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:
“Esok, tatkala perang sudah dimulai, kamulah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kamu didahului oleh seorangpun dari Bani Hasyim, kerana mereka adalah para junjungan kita semua… "
"Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: 'Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya. "
Esok harinya, Imam Husain as kemudian bergegas menunggang kuda dan membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.
Saat pasukan Umar bin Sa'ad sudah berada di atas kuda sambil menyeringai dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudhair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah ertinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.
Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran antara pasukan hak dan pasukan batil itu. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar bin Sa'ad sudah bersedia di sekeliling perkemahan Imam Husain as. Imam Husain memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menggali parit dan menyalakan api.
Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.
"Hai Husain!" pekik Shimir, "Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat nanti?!"
Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas: "Hai anak pengembala lembu, kamulah yang lebih layak menghuni neraka."
Melihat kekurangajaran Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah cuba untuk melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.
"Jangan!" seru Imam Husain as. "Aku tidak ingin menjadi pihak yang memulakan peperangan."
Setelah itu, beliau cuba untuk menjelaskan siapa beliau dengan harapan dapat membuka hati nurani musuh. Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husain as sampai Qais bin Asy'ats berani berteriak: "Kata-katamu ini sudah tidak ada gunanya lagi. Kamu tak usah berperang dan lebih baik menyerah kepada anak-anak bapa saudaramu itu kerana mereka tidak akan berbuat jahat terhadapmu."
Imam Husain as berkata: "Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian. Aku tidak bersedia menjadi orang hina di depan orang-orang derhaka. Aku tidak akan membebani diriku dengan ketaatan kepada aturan manusia-manusia yang terbelenggu."
Puteri Fatimah Azzahra ini kemudian membacakan dua ayat suci dalam AlQuran dengan suara lantang:
"Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku."
"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan."
Imam Husain as kemudian meminta Umar bin Sa'ad datang mendekati beliau. Meski dengan berat hati, Ibnu Sa'ad memenuhi permintaan Imam Husain as.
"Hai Ibnu Sa'ad!" seru Imam Husain as, "Apakah kamu akan membunuhku supaya Abdullah bin Ziyad si anak zina dan putera zina itu menyerahkan kekuasaan di Rey dan Jurjan kepadamu? Demi Allah, apa yang kamu harapkan itu tidak dapat kamu capai. Kamu tidak akan pernah mendapatkan kekuasaan di dua wilayah itu."
Kata-kata Imam Husain as ini mencabar kesabaran Umar bin Sa’ad. Dia segera berpaling ke arah pasukannya sambil berteriak: “Apa yang kalian tunggu? Cepat bereskan si pemalas ini. Seranglah Husain dan para pengikutnya yang jumlahnya hanya segelintir itu.”
Imam Husain as segera bergegas menunggangi kudanya. Orang-orang yang ada masih tetap dimintanya untuk tenang. Ketika mereka bersedia diam, beliau masih mencoba menyampaikan sebuah khutbah untuk menyadarkan hati mereka.
Kata-kata Imam Husain as berhasil menyentuh nurani hati salah seorang komandan musuh bernama Hurr bin Yazid Arriyahi. Dia memberanikan diri untuk mendekati Imam Husain as sambil meletakkan telapak tangan di kepalanya. Dia bertaubat dan disambut baik oleh Imam Husain.
Hurr kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka Hurr memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hurr tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan anak panah ke arah Hurr. Hurr bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.
Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada budaknya: “Hai Duraid, cepat maju!” Umar mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan Husain.” Anak panah itu melesat.
Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan, melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad segera disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi untuk melakukan perlawanan.
Imam Husain as mengizinkan permohonan Hurr untuk maju sebagai orang pertama yang berjihad. Hurr pun maju dengan gagah berani. Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hurr sempat melihat anak dan saudaranya yang juga termasuk anggota ribuan pasukan musuh. Hurr meminta putera dan saudaranya supaya bertobat. Keduanya bertaubat dan gugur setelah bertempur dan berhasil menghabisi pasukan musuh dalam jumlah besar. Hurr sendiri gugur setelah memberikan persembahan yang tak kalah besarnya.
Gugurnya mereka disusul dengan majunya pengikut setia Imam Husain bernama Muslim bin Ausajah. Sahabat setia itu tersungkur dan syahid setelah memporak-porandakan sebagian barisan pasukan musuh dan menuai nyawa mereka.
Saat solat dhuhur tiba, atas perintah Imam, pengikut beliau bernama Habib bin Madhahir meminta diberi waktu untuk menunaikan solat. Namun dia disambut dengan kekerasan sehingga dia terpaksa menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah orang tewas. Dia bertempur dan saat kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hushain bin Namir yang menghantam kepalanya. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hushain datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.
Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain dan Said bin Abdullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal solat beliau bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh tidak mengizinkan beliau solat.
Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang suci itu.
Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as melanjutkan solat hingga tuntas. Seusai solat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya.
Para pahlawan Karbala pengikut Imam Husain kemudian terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non-Bani Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum mereka sendiri yang maju.


BANJIR DARAH HARI ASYURA


hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorbanan, dan perjuangan menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta darah dan hari perang. Akibatnya, terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala yang terdiri dari anak keturunan Rasul dan para pecintanya.


Hari itu tanah Karbala dibakar oleh sengatan terik mentari yang mengeringkan tekak para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu yang ada hanyalah longgokan jasad tanpa nyawa. Putera Amirul Mukminin itu melantunkan kata mutiaranya. Beliau antara lain mengatakan:
"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah kiranya ini menjadi kebanggaan bagiku. Fatimah adalah ibundaku, dan Muhammad adalah datukku. Dengan perantara kami lah Allah menunjukkan kebenaran dari kesesatan. Kami lah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kami lah pemilik telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan cawan-cawan Rasul. Tak seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami ini.”
"Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?" Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat datuknya, Muhammad SAW.
Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim iaitu keluarga, kaum kerabat dan pengikut beliau yang masih tersisa. Diantara mereka adalah Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Pertempuran Ali Akbar beliau perhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan.
Ketika sudah berada di medan laga, kepiawaian Ali Akbar dalam berperang membuat musuh tercengang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertempur mengingatkan mereka kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as yang tenar dengan julukan Singa Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang Ali Akbar. Namun, ketika jumlah musuh yang sangat besar itu seakan tak berkurang, Ali Akbar lelah dan tercekik kehausan. Keadaannya yang sudah nyaris tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut dengan hentaman pedang tepat di bagian atas kepala. Darahnya yang mencurah segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi.
Tampil kemudian Abdullah bin Muslim bin Aqil ke medan laga. Dia termasuk prajurit yang meminta sendiri kepada Imam Husain as untuk angkat pedang melawan musuh. Setelah berhasil membuat beberapa musuh bergelimpang diterjang keperkasaannya, Abdullah tak berdaya melawan prajurit iblis yang menyemut itu. Putera Muslim bin Aqil ini gugur di tangan Amr bin Sabih Asshaidawi dan Asad bin Malik. Demikianlah para pendekar Karbala pengikut Imam Husain maju satu persatu menerjang musuh. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Muslim bin Aqil, Abdurrahman bin Aqil dan Jakfar bin Aqil, juga Muhammad bin Abi Said bin Aqil, Qasim bin Hasan bin Ali as, dan adik Imam Husain, Abul Fadhl Abbas as, tokoh legendaris pemegang panji Karbala yang juga tenar dengan sebutan Purnama Bani Hasyim.


GUGURNYA PURNAMA BANI HASYIM


Sang Purnama Bani Hasyim itu gugur syahid dalam bentuk yang dramatis dan membanggakan. Beliau dibunuh ketika berusaha membawakan sekantung air untuk abang sekaligus pemimpin dan junjungannya, Imam Husain as, yang sedang tercekik rasa haus. Dalam mempertahankan sekantung air di depan kerumunan musuh itu, beliau berhasil menuai ajal pasukan musuh dalam jumlah yang sangat besar sebelum beliau sendiri gugur dengan situasi yang cukup tragis. Sebelum gugur, satu tangannya putus di potong musuh, tetapi beliau masih mempertahankan kantung air untuk Imam Husain.
Namun, dalam situasi yang nyaris tak berdaya, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul dari balik pohon sambil menghayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk cucu Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini cuba meraih kantung air dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Akhirnya, satu anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghentamkan batangan besi ke ubun-ubun Abbas.
Kepergian Abul Fadhl Abbas membuat Imam tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. Beliau meratap:
“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”
Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Kepada kaum wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci para Imam Ahlul Bait as yang siap menyongsong kematian sakral itu berkata:
"Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian."
Imam menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: "Sakinah, Fatimah, Zainab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan tiba saatnya kalian dirundung nestapa."
Wajah Imam bersimbah air mata sehingga adik beliau Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya: "Mengapa engkau menangis?"
"Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh sebagai tawanan?!"
Sejurus kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau itu.
Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:
"Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah dirimu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah puteraku Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka."
Dengan suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan: "Alwidaa', alwidaa', alfiraaq, alfiraaq."
Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelum itu ditunggangi oleh Abul Fadhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tak kuasa menahan ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki Dzul Janah. "Ayah! Ayah!" Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun.


PERJUANGAN KSATRIA KARBALA SEORANG DIRI


Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah pertarungan satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.
Dengan kesalnya, Umar bin Sa’ad menggerutu: “Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding dengan Husain. Jika begini terus, tak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti.”
Dia lantas berteriak kepada pasukannya: “Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”
Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan perang. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya. Kerananya, tidak menghairankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak mudah dirobohkan dengan cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan.
Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh. Umar bin Sa’ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengerubungi dan membantai Imam Husain as sedapat mungkin.. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan sehingga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah.
Tubuh beliau mulai terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pedang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk menghabisi riwayat Imam Husain as. Saat beliau terkapar, Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis itu mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra. Sekali tebas, kepala manusia mulia itu terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala Imam Husain disusul dengan suara sorakan dari mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering dicium oleh Rasulullah SAW kini ditancapkan ke ujung tombak. Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu. Salam sejahtera atas arwah sucimu wahai Imam Husain.
Saidina Hussain, cucu kesayangan Rasulullah S.A.W dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari nabi. Sewaktu hussain masih kecil, setiap kali dia memasuki masjid bersama datuknya, Rasulullah akan meletakkan hussain di pangkuannya dan berkata kepada para sahabat, “ ini adalah hussain, pandang dan ingatilah dia.”



























No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...